Maya tertunduk lesu diatas kursinya. Dihadapannya terbaring
tubuh mungil gadis kecilnya. Hampir seminggu Aisha mengalami koma setelah jatuh
di kamar mandi. Selama itu pula dokter belum bisa mendiaknosa penyakit Aisha. Hati
Maya makin tercabik manakala menyaksikan selang yang bertaburan di tubuh gadis
kecilnya.
“Kamu terlalu egois May, lebih mementingkan urusanmu
ketimbang anak-anakmu. Harusnya kamu sadar, posisimu saat ini sebagai ibu dari
tiga orang anak yang masih kecil. Dimana letak tanggung jawabmu? Membiarkan mereka
diasuh orang tuamu, sementara kau sendiri sibuk dengan duniamu!”
Kata-kata Keila tempo hari selalu terngiang di telinga Maya.
Ia merasa menjadi manusia kerdil yang tak punya nyali. Sosoknya yang kerap
tampil energik dibalik balutan jas putihnya, membuat dokter kecantikan ini
masih dianggap gadis. Padahal ia banyak menyimpan cerita kelam, bahwa
sebenarnya ia hanyalah seorang janda beranak tiga yang ditinggal suaminya
selingkuh.
***
Kejadian yang menimpa Aisha sontak membuat mata para sahabat
Maya terbelalak. Kebohongan itu kini telah terkuak. Dan mata-mata itupun
akhirnya memandang pedih pada tubuh Aisha yang diam tak bergeming.
“Aku selalu menitikkan air mata saat melihat bocah-bocah tak
berdosa itu. Apalagi kini, ketika kusaksikan Aisha yang terdiam dalam pembaringannya,
hatiku makin nelangsa. Kebahagian mereka terbelenggu. Kau tak pernah memikirkan
apa yang mereka inginkan. Kau bahkan terlalu picik memandang kebahagiaan. Kau coba
membahagiakan mereka dengan melengkapi kebutuhannya, mengajaknya berlibur atau
menitipkannya ke orang tuamu. Sebenarnya bukan itu yang mereka inginkan Orang tuamu
tak bisa menggantikan sosok yang diharapkannya.”
Keila selalu memojokkan Maya. Ia nyaris tak bisa membela
diri. Bahkan, ia memilih diam dan membiarkan sahabatnya itu menghakiminya
dengan kalimat pedas. Tetapi Maya tiba-tiba teringat terakhir kalinya Aisha
bercanda riang dengan kakeknya, sehari sebelum koma.
“Aisha, coba kamu lihat di langit sana, ada bintang jatuh!”,
ucap kakek sambil menunjuk ke langit.
Aisha dengan tergopoh-gopoh langsung menghampiri kakeknya.
“Wow….the fallen star. Benar kek itu the fallen star alias
bintang jatuh.”
“Ayo sekarang ucapkan permintaanmu. Siapa tahu peri bintang
mendengarnya dan mengabulkan doamu”, pinta Kakek disela-sela tepuk tangan Aisha.
“Duhai peri bintang, tolong buatlah mama dan papaku rujuk
kembali. Itulah kebahagiaan yang sangat kunantikan diatas kebahagian yang lain.”
Suara Aisha terdengar lantang, membuat kakek, bahkan Maya
dan seisi rumah yang tengah duduk manis di teras rumah tercengang sesaat.
***
“Tidak mungkin aku rujuk dengan Mas Bram. Jelas-jelas dia
yang salah. Dia memilih pergi meninggalkan aku dan anak-anak demi wanita lain. Aku
sudah terlanjur sakit. Aku bahkan menganggap dia telah mati. Dia telah kuhapus
selamanya dari kehidupanku, juga anak-anak”, Maya berusaha menjelaskan kepada
Keila.
“Yah…mungkin itu takdir. Tapi, tidakkah kau memikirkan
perasaan anak-anak. Coba beri kesempatan sebentar saja pada mereka untuk
bertemu dengan papanya.” Sekali lagi kalimat Keila membuat Maya harus menelan
ludah.
***
“Tok…tok…tok…” Ketukan pintu itu sontak membangunkan Maya
yang tertidur disamping Aisha. Ia sontak langsung melonjak kaget. Seorang pria
menggandeng wanita yang tengah hamil kini berdiri dihadapannya. Hati Maya
tercabik, lalu ia mendesah.
“Peri bintang itu telah mengabulkan doa Aisha, namun tidak
untukku. Sungguh aku muak dengan semua ini!”
***